Cerpen Minggu Pagi
**Judul: "Sang Penenun Hati"**
Di sebuah desa kecil yang tersembunyi di balik perbukitan, ada seorang wanita tua bernama Nenek Sinta yang dikenal sebagai penenun hati. Tidak seperti penenun biasa yang menggunakan benang dan kain, Nenek Sinta menenun perasaan dan emosi menjadi karya yang indah dan ajaib.
Setiap pagi, ia duduk di beranda rumah kayunya yang sederhana, ditemani oleh burung-burung kecil yang bernyanyi riang di dahan-dahan pohon. Dengan mata yang penuh kebijaksanaan, ia melihat ke arah pegunungan yang jauh, seolah-olah menunggu datangnya inspirasi.
Suatu hari, seorang pemuda bernama Arya datang berkunjung. Wajahnya muram dan matanya terlihat hampa. "Nenek Sinta," katanya pelan, "aku merasa kehilangan semangat hidup. Hati ini terasa kosong dan tak berarti."
Nenek Sinta mengangguk lembut. Ia mengajak Arya duduk di sampingnya dan mulai menenun. Setiap helai benang yang digunakan bukanlah benang biasa. Itu adalah benang-benang yang terbuat dari kenangan masa kecil Arya yang penuh keceriaan, dari mimpi-mimpi yang pernah ia impikan, dan dari cinta kasih keluarganya yang selalu menyertainya.
"Setiap hati memiliki tenunannya sendiri," ujar Nenek Sinta sambil tersenyum. "Kadang, benang-benang itu kusut dan sulit diurai, tapi dengan kesabaran, semuanya akan kembali indah."
Arya melihat proses itu dengan penuh kekaguman. Sedikit demi sedikit, ia merasakan kehangatan yang mulai mengisi hatinya yang tadinya kosong. Setiap tarikan benang yang dilakukan oleh Nenek Sinta seperti menghubungkan kembali potongan-potongan perasaan yang tercerai-berai dalam dirinya.
Beberapa jam berlalu, dan akhirnya Nenek Sinta menyelesaikan tenunannya. Ia memberikan hasil tenunan itu kepada Arya. "Ini adalah cermin hatimu," katanya. "Lihatlah, betapa indah dan berharganya dirimu."
Arya memandangi tenunan itu. Warna-warni cerah berpadu harmonis, membentuk pola yang unik dan mempesona. Ia merasa seolah-olah beban yang selama ini menghimpitnya perlahan-lahan terangkat. "Terima kasih, Nenek Sinta," ucapnya dengan mata yang berkaca-kaca. "Aku merasa hidup kembali."
Dengan senyuman penuh kasih, Nenek Sinta membalas, "Ingatlah, Arya. Hati kita adalah karya seni yang terus berkembang.
Komentar